Artikel Bengkulu Selatan Bengkulu Tengah Bengkulu Utara Bisnis Budaya Ekonomi Kaur Kepahiang Kesehatan Kota Bengkulu Kriminal Lebong metropolis Muko Muko Olahraga Pariwisata Pendidikan Politik Rejang Lebong Seluma 

Gizi, Pangan dan Permasalahannya

Share it

Pangan adalah bagian utama hajat manusia yang esensial dalam memenuhi kebutuhan kehidupan. Kebutuhan manusia terhadap pangan merupakan prioritas utama yang tidak dapat ditunda dalam pemenuhannya. Dalam mempertahankan keberlangsungkan hidup dan kehidupan sebagai mahluk yang bernyawa manusia memerlukan berkembang biak dan bermasyarakat. Saat ini dunia juga digemparkan dengan pandemi covid-19 yang sangat memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan termasuk kesehatan global (Baniamin et al, 2020). Pangan dan gizi sebagai komponen yang dasar dan penting dalam peningkatan pembangunan. Komponen ini berkontribusi dan berperan untul diwujudkannya sumber daya manusia yang kualitas dan kuantitasnya baik, sehingga dapat berperan optimal untuk meningkatkan pembangunan.

Pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang menunjukkan bahwa bangsa menjadi penanggung jawab atas kebutuhan dan pemenuhan pangan rakyat. Negara mempunyai kewajiban melindungi rakyatnya agar terhindar dari masalah rawan pangan, kurang pangan, dan kurang gizi (Kusharto C.M dan Hardinsyah). Pangan dan gizi diumpamakan merupakan modal dasar dan kebutuhan pembangunan serta menjadi indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa (Khomsan, 2004). Tingkat ketahan pangan rumahtangga ditentukan dari kemampuan memenuhi kebutuhan pangan,pendapatan, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan kepala keluarga (Supriyanto, 2014). Kestabilan penanganan masalah pangan perlu dilakukan karena akan berdampak pada aspek kehidupan masyarakat, misalnya kestabilan pangan yang dibutuhkan, tingkat pendidikan, kestabilitas ekonomi, pemenuhan pekerjaan, dan sebagainya. Masalah politik dapat juga menjadi Pemicu terjadinya kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh sebab itu bisa saja terjadi pangan bukan hanya komoditas ekonomi tetapi terkait menjadi komoditas politik sebagai dimensi sosial yang luas, sehingga perlu rencana aksi atau kebijakan tentang pangan dan gizi sebagai bentuk dukungan untuk memenuhi dan menciptakan kedaulatan pangan dan pemenuhan kebutuhan gizi di Indonesia (PPN/Bappenas, 2019).

Permasalahan Pangan
Strategis pembangunan nasional salah satu hal yang menjadi sasaran nya adalah permasalahan pangan. Faktor pendukung untuk mengatur masalah pangan adalah (i) ketahanan pangan, yaitu kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (ii) pengaturan kebijakan pangan yang ditentukan dan dirumuskan oleh bangsa sendiri; dan (iii) memberikan perlindungian dan mensejahterakan petani dan nelayan sebagai pelaku utama pangan. Di Indonesia masalah pangan terjadi akibat Perubahan ekonomi pangan global yang terkait dengan stabilisasi harga pangan di Indonesia tidak stabil serta adanya ancaman krisis pangan di dunia, terutama karena pemanasan global, peningkatan jumlah penduduk, dan ketidakpastian iklim, ancaman ekologis, serta ketahanan pangan Indonesia yang menghadapi tantangan semakin kompleks akibat beberapa kecenderungan global, serta perubahan musim yang diperkirakan dapat menurunkan produksi pangan (Jayadi, 2013). Permasalahan yang sering terjadi adalah kebutuhan bahan pokok terutama pangan sangat tergantung dari daratan (Suwarno, dkk., 2010)
Permasalahan Gizi Makro dan Mikro
Permasalahan gizi makro dan mikro merupakan masalah gizi masyarakat di Indonesia yang masih menjadi prioritas antara lain adalah Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi, Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Stunting, Obesitas. Selain itu masih adanya masalah kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antar wilayah, tingkat sosial ekonomi.

Masalah Gizi Makro
Hal yang dapat menimbulkan masalah gizi makro sebagai berikut. (Proverawati, 2010):
Kekurangan Energi dan Protein
Kekurangan Energi dan Protein (KEP masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. KEP pada anak balita sangat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian bayi dan anak. WHO menyatakan kematian bayi dan anak lebih dari 50% terkait dengan gizi kurang.
Keadaan kurang gizi pada bayi dan balita disebabkan akibat kurangnya asupan zat gizi terutama energi dan protein dalam konsumsi makanan sehari-hari yang tidak dapat memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah kurangnya Konsumsi zat gizi terutama energi dan protein yang berlangsung secara kronis atau menahun (Ruaida N,2017). Penyebab terjadinya Kekurangan Energi dan Protein (KEP) menurut UNICEF meliputi tahapan yang terdiri, penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Penyebab langsung yaitu konsumsi makanan dan penyakit infeksi.

Kekurang Energi dan Protein (KEP) pada anak akan dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Konsumsi yang kurang akan berdampak pada ketahanan tubuh yang mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap infeksi. Akibat dari Penyakit infeksi yang berhubungan secara langsung terhadap gizi yang kurang (Sediaotama, 2006).
Ciri khas yang terlihat pada keadaan marasmus sebagai berikut :
Anak sangat kurus
Wajah seperti orang tua
Cengeng dan rewel
Rambut tipis, jarang dan kusam
Kulit keriput
Tulang iga tampak jelas
Pantat kendur dan keriput
Perut cekung
Sedangkan keadaan Kwarshiorkor memiliki ciri khas sebagai berikut:
Wajah bulat dan sembab (moon face)
Cengeng dan rewel
Rambut tipis, jarang, kusan, warna rambut jagung dan bila dicabut tidak sakit
Kedua punggung kaki bengkak
Bercak merah kehitaman di tungkai atau di pantat
Anak yang anak mengalami Marasmik-kwasiorkor akan terlihat ciri khas sebagai berikut:
Anak sangat kurus
Wajah seperti orang tua atau bulat dan sembab
Cengeng dan rewel
Tidak bereaksi terhadap rangsangan, apatis
Rambut tipis, jarang, kusan, warna rambut jagung dan bila dicabut tidak sakit
Kulit keriput
Tulang iga tampak jelas (iga gambang)
Pantat kendur dan keriput
Perut cekung atau buncit
Bengkak pada punggung kaki yang berisi cairan (edema) dan bila ditekan lama kembali
Bercak kehitaman di tungkai dan pantat.

Obesitas
Masalah kegemukan (Obesitas), Secara Nasional masih terjadi pada kelompok dewasa yang berusia 18 tahun keatas. Obesitas terjadi mendominasi walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi. Kejadian Obesitas pada laki-laki cenderung lebih rendah jika dibandingkan perempuan. Penduduk yang tinggal di perkotaan, pendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi tinggi merupakan karakteristik yang kejadian obesitasnya lebih meningkat. Prevalensi obesitas di Indonesia cukup tinggi pada usia 15 tahun ke atas. Sebuah di Amerika studi yang memantau berat badan mahasiswa usia 17-19 tahun menunjukkan bahwa mahasiswa yang dilibatkan dalam penelitian tersebut mengalami peningkatan berat badan (Sareen, et all, 2012). Dari Riskesdas 2010, ada kecenderungan prevalensi gemuk meningkat sejalan dengan bertambahnya usia khususnya pada perempuan dan pada usia 45-49 tahun lebih banyak terjadi pada laki-laki. Pada kelompok usia 45-49 dan 49-54 tahun, kombinasi gemuk dan pendek pada perempuan lebih banyak dibandingkan pada laki-laki
Faktor penyebab kegemukan yaitu asupan makanan, yaitu asupan lemak, asupan karbohidrat, protein, air dan zat gizi mikro yang juga dapat menyebabkan obesitas. Komposisi asam lemak, juga dipengaruhi oleh aktifitas atau keseimbangan energi (Praditasari, J A., Sumarmi S, 2018). Keseimbangan energi yang dimaksud ialah jumlah kalori yang masuk tidak sama dengan jumlah kalori yang keluar, keadaan ini jika berlangsung bertahun-tahun akan mengakibatkan penumpukan jaringan lemak yang berlebihan dalam tubuh, sehingga terjadilah penggemukan (Obesitas) (Husna, 2012).

Obesitas merupakan faktor resiko dari berbagai masalah kesehatan, pada anak sekolah, kejadian kegemukan dan obesitas berisiko berlanjut hingga usia dewasa. Kegemukan dan obesitas pada anak merupakan faktor risiko terjadinya berbagai penyakit metabolik dan degeneratif (Kemenkes, 2012).

Secara umum obesitas dapat dibagi atas dua kelompok besar yaitu :
Obesitas Sentral
Badan berbentuk gemuk seperti laras, perut buncit ke depan, jenis ini banyak ditemukan pada pria. Tipe ini cenderung mengembangkan penyakit jantung koroner, diabetes dan stroke.
Obesitas Ginoid
Pinggul dan pantatnya besar, tampak seperti buah pir dari kejauhan. Jenis ini banyak ditemukan pada wanita, terutama yang sudah memasuki masa menopause.
(Husna, 2012)

Masalah Gizi Mikro

Anemia Gizi Besi
Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan anemia akibat kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin (Raspati H, Reniarti L, Susanah S, 2005). Hemoglobin adalah protein yang mengandung zat besi dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, dan juga sebagai pembawa karbon dioksida kembali ke paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.
Seseorang mengalami anemia besi dapat terjadi karena :
Kurangnya asupan sumber zat besi dari makanan. Zat besi berasal dari berbagai sumber makanan, seperti hati. daging, bayam. Dengan mengonsumsi berbagai jenis makanan, kemungkinan terjangkit anemia akan semakin kecil.
Meningkatnya kebutuhan zat besi didalam tubuh ketika sedang hamil, masa pertumbuhan dan penderita penyakit menahun.
Pengeluaran zat besi bisa meningkat akibat dari pendarahan, haid hingga cacingan.
Akibat dari anemia adalah sebagai berikut:
Anak-anak: Menurunnya konsentrasi dan kemampuan belajar, pertumbuhan fisik hingga perkembangan kecerdasan otak terhambat, imunitas anak menurun, sehingga memudahkan anak tertular penyakit infeksi (Widyastuti, 2008).

Wanita: Anemia dapat menurunkan kekebalan tubuh yang membuat tubuh mudah terserang penyakit sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas kerja, serta penurunan kebugaran tubuh (Ibrahim dkk, 2019)
Remaja putri: Mengurangi kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal, serta menurunkan kemampuan fisik olahragawati, dan dapat mengakibatkan muka pucat (Ibrahim dkk, 2019).
Ibu hamil: Kejadian Anemia berat bisa menyebabkan kematian ibu dan/atau bayinya, meningkatkan risiko lahiran Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau BBLR (<2,5 kg), menimbulkan perdarahan baik sebelum atau saat persalinan. (Susiloningtyas, 2012).
Anemia gizi pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami kemerosotan, yaitu 51,5% (1995), 2006=25,0% dan menurun pada tahun 2011=17,6%.
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi ibu hamil yang mengalami anemia gizi di Indonesia 24,5 persen. Sejak tahun 1970-an, pemerintah telah memberikan suplemen tablet besi-folat, karena kegiatan ini memiliki cakupan yang sangat rendah, ibu hamil diharapkan meminum 90 tablet zat besi-folat selama pemeriksaan kehamilan pertama (K1) hingga pemeriksaan kehamilan keempat (K4). Namun data penelitian kesehatan dasar tahun 2010, kunjungan ke empat ke pelayanan antenatal sebanyak 61,4%, sedangkan yang mengonsumsi tablet Fe hanya 18%, keduany jauh dari tujuan MDGs yang memperkirakan keduanya 95 persen dan 85 persen (RANPG 2011-2015). Dari beragam informasi, sedikitnya cakupan tablet besi-folat yaitu kurangnya dari perencanaan pengadaan serta distribusi tables besi-folat, pendidikan/KIE gizi dan kesehatan yang ampuh (Kerangka Kebijakan Gernas Darsi, 2012).

Kekurangan Vitamin A (KVA)
Vitamin A merupakan vitamin larut dalam lemak yang penting bagi tubuh dan disimpan dalam hati. Kaena sifatnya yang essensial, vitamin larut lemak harus dipenuhi dari luar seperti makanan. Fungsi dari vitamin A itu sendiri, untuk pengelihatan, pertumbuhan hingga meningkatkan imun dari penyakit diferensiasi epitelium, dan sekresi lendir/getah. Contoh dari kurang vitamin A yaitu tubuh rentan terkena radang paru-paru, diare, pneumonia bahkan kematian. Dampak lain yang parah yaitu rabun senja atau xeropthalmia, merupakan kerusakan pada mata bahkan dapat terjadi kebutaan. (Almatsier, 2009).
Hal yang harus dilakukan untuk mengurangi kekurangan vitamin A yaitu dengan mecncukupi kebutuhan vitamin A untuk tubuh.
Usaha untuk mencukupi kebutuhan vitamin A untuk tubuh, dibuat kebijaksanaan sebagai berikut :
Mencerahkan masyarakat agar sadar, akan pentingnya vitamin A untuk tubuh dan memakan sumber viamin A alami melalui penyuluhan.

Melakukan fortifikasi vitamin A serta mendistribusikan kapsul viamin A dosis tinggi secara teratur (Pratiwi Y S, 2018).
Pengendalian dari kurang vitamin A pada balita dan anak sudah dilakukan sejak tahun 1970, dengan cara meningkatkan penyuluhan untuk mengonsumsi makanan yang bersumber dari vitamin A lalu membagikan kapsul vitamin setiap 6 bulan.

Kekurangan vitamin A sudah tidak lagi masalah kesehatan masyarakat. Literature tentang masalah gizi mikro pada sepuluh provinsi di 2006 didapatkan pevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan indeks serum retinol kurang dari 20µg/dl yaitu 14,6%. Hasil data riskesdas 2010, saat masa nifas atau setelah persalinan ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2%. Pada tingkat pendidkan ibu nifas yang tidak sekolah lebih kecil yaitu 31% dibanding ibu yang tamat perguruantinggi yaitu 62,5%. Demikian juga keidakseimbangan ibu nifas didesa dan dikota serta tingkat pengeluaran. Data WHO pada tahun 2009 dapat disimpulkan, kekurangan vitamin A terjadi pada anak usia pra_sekolah.

Negara Indonesia pada kasus kekurangan vitamin termasuk dalam kategori moderat (>10%-<20%).
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY).

Untuk mengurangi kejadian GAKY, pada tahun 1994 diwajibkan untuk semua produksi garam mengandung setidaknya 30 ppm yodium. Data status yodium pada anak sekolah sebagai acuan dampak defisiensi yodium selama sepuluh tahun terakhir memberikan hasil yang konsisten. Median Urine Iodine Excretion (EIU) dari tiga survei terakhir berkisar antara 200-230 g/L, dan proporsi anak-anak dengan EIU <100 g/L di bawah 20%. Gangguan akibat kekurangan yodium tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Hasil Studi Intensifikasi Pengendalian GAKY (IP-GAKY) 2003 dan Riskesdas 2007 menunjukkan hasil yang konsisten, rata-rata EYU tinggi, dan proporsi EYU <100 g/L di bawah 20%. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: JM.03.03 / BV / 2195/09 tanggal 3 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi kapsul minyak yodium (WUS, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak SD / MI). Sedangkan rata-rata nasional jangkauan rumah tangga dengan garam beryodium hanya 62,3%. Terdapat ketidakseimbangan yang tinggi antar wilayah dengan persentase lingkupan terendah yaitu Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (98,7%).

Penduduk bertempat tinggal di daerah pegunungan dengan tanah beryodium yang terkikis oleh tanah longsor dan banjir ke daerah lembah berisiko tinggi untuk GAKY. Menurut penelitian Rahmat Yanti tahun 2018, faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Gaky adalah kurangnya asupan yodium, kualitas garam, kondisi sosial ekonomi atau pendapatan keluarga dan tingkat pengetahuan orang tua tentang Gaky.
Kekurangan yodium pada janin terjadi karena kekurangan yodium pada ibu. Keadaan ini akan menyebabkan banyak bayi lahir mati, aborsi, dan cacat bawaan yang semuanya dapat dikurangi dengan pemberian yodium.

Konsekuensi lain yang lebih parah dari janin yang kekurangan yodium adalah kretinisme endemik. Ada dua jenis kretinisme endemik, yang paling umum adalah jenis nervosa, yang ditandai dengan keterbelakangan mental, bisu, tuli, dan kelumpuhan kejang di kedua kaki. Sebaliknya, yang jarang terjadi adalah jenis hipotiroidisme, yaitu defisiensi hormon tiroid dan stunts. Jadi perkembangan otak janin sangat bergantung pada hormon tiroid ibu pada trimester pertama kehamilan, kekurangan yodium ibu akan mengakibatkan rendahnya kadar hormon tiroid pada ibu dan janin. Pada kehamilan trimester kedua dan ketiga, janin sudah mampu membuat hormon tiroid sendiri, namun karena kekurangan yodium pada saat ini akan mengakibatkan kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga terjadi hipotiroidisme pada janin.
Penelitian yang dilakukan pada anak sekolah yang tinggal di daerah yang kekurangan yodium mengakibatkan prestasi sekolah dan IQ lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah dengan kadar yodium yang cukup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dampak kekurangan yodium mengakibatkan gangguan otak berdimensi luas (Hartono, 2005).

Orang dewasa dengan penyakit gondok terkadang juga disertai dengan komplikasi yaitu hipotiroidisme, yang disebabkan oleh adanya benjolan/modul pada kelenjar tiroid. Selain itu, dampak dari kekurangan yodium adalah peningkatan penyerapan kelenjar tiroid yang membuat risiko terkena kanker tiroid saat terkena radiasi (Kemenkes, 2015).

Sumber Daya Lahan

Banyak sawah di Indonesia yang berubah fungsi. Ada yang digunakan untuk perumahan, perkantoran, industri, pariwisata, transportasi dan juga untuk keperluan lain. Konversi lahan sawah dari tahun ke tahun terus meningkat dan dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat mengancam ketahanan pangan beras. Ketersediaan air semakin berkurang, dan terjadi penurunan kualitas lahan dan air untuk produksi pangan dan pertanian. Perlu adanya regulasi untuk melindungi lahan sawah agar ada persawahan yang lestari untuk menghasilkan padi secara berkelanjutan. Adanya penataan ruang wilayah yang solid, baik regional maupun nasional yang memposisikan persawahan sebagai ruang abadi akan sangat mendukung kebijakan ini (Santosa, I.G.N, 2011) (Kusharto C.M dan Hardinsyah).

Infrastruktur
Menurut Hasan MF (2008), kebijakan infrastruktur yang mendorong perkembangan sektor pangan seperti irigasi, pembangunan lahan, jalan didaerah produksi pangan (farm roads). Tersedianya infrastruktur juga sangat diperlukan untuk pembangunan pertanian, karena pembangunan pertanian merupakan agenda yang sangat penting dalam rencana pembangunan.
Infrastruktur tersedia untuk pembangunan ekonomi yaitu :
Barang yang diperlukan tersedia dengan cepat dan lebih murah
Infrastruktur yang baik juga memperlancar transportasi yang saat gilirannya merangsang adanya stabilitas dan mengurangi disparitas harga antar daerah.

Infrastruktur juga melancarkan jasa trasnportasi untuk mengangkut hasil produksi dan dijual dipasar (Basri, 2002)
Pembangunan infrastruktur yang lambat akan mempengaruhi perekonomia suatu daerah.
Teknologi dan Sumber Daya Manusia
Agustini S, Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor yang dapat menurunkan dan menumbuhkan hasil pangan, apabila tersedia sumber daya manusia yang memuaskan dapat membuat sebuah pembaruan untuk meningkatkan produksi secara optimal.

Modal
Pembentukan modal diperlukan untuk investasi dalam bentuk barang modal sehingga dapat menaikkan stok modal, pendapatan nasional dan pengeluaran nasional. Jadi dengan membangun dan membentuk modal adalah kunci menuju pembangunan ekonomi. Keterbatasan modal pada petani menjadi salah satu penyebab rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia. Kekurangan modal juga pemicu banyak petani tidak mempunyai alat pribadi untuk bertani misalnya mesin giling (Surya A, 2013).

Energi
Pertanian juga membutuhkan energi, karena energi penting untuk kegiatan pertanian yang terbagi menjadi 2 : yaitu langsung dan tidak langsung. Pada jalur langsung contohnya petani menggunakan traktor menggunakan energi listrik atau mengguankan bahan bakar minyak (BBM). Pada jalur tidak langsung energi yang dipakai oleh pabrik pupuk dan pabrik yang membuat input maupun alat transportasi dan komunikasi (Tambunan, 2009).

Lingkungan Fisik/Iklim
Kondisi ketahanan pangan saat ini sangat mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan perubahan iklim secara universal, karena pemanasan global membuat jangka waktu musim menjadi tidak menentu, perlu adanya antisipasi yang tepat dan cepat untuk menciptakan ketahanan pangan nasional dan tercapainya kemandirian pangan. Akibat langsung yang ditimbulkan oleh pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan produktivitas (Rahayu dkk, 2020) dan ( Santosa P.B dan Derwanto, 2012)
6.3 Determinan Masalah Gizi
Masalah gizi dipengaruhi oleh 6 faktor yang terdiri dari (Lingga, 2010):
Faktor manusia/host
Orang yang mempunyai status gizi baik mempunyai kondisi tubuh yang seimbang baik itu faktor host, agent, environment. Jika dari tiga faktor diatas tidak seimbang, maka dapat menimbulkan masalah gizi.

Pejamu (host) merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi keadaan gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pada kelompok ini yaitu:
Genetik (keturunan), orang tua yang mengalami kegemukan, kemungkinan akan mempunyai anak yang mengalami kegemukan.
yang mempunyai orang tua menderita kegemukan maka ada kecenderungan untuk menjadi gemuk.
Umur, setiap kelompok umur mempunyai kebutuhan asupan gizi yang berbeda, misalnya pada kelompok umur balita memerlukan lebih banyak protein dari pada kelompok dewasa untuk massa pertumbuhan, sedangkan dewasa lebih banyak memerlukan vitamin dan mineral.
Jenis kelamin, juga mempengaruhi kebutuhan gizi seseorang misalnya wanita dewasa memerlukan lebih banyak zat besi daripada pria.
Kelompok etnik, masyarakat yang mempunyai golongan atau komunitas etnik tertentu biasanya mempunyai kebiasaan yang sama sehingga masalah gizi yang ditimbulkan tidak jauh berbeda antar penduduk
Fisiologik, ibu hamil membutuhkan asupan gizi dua kali lipat diabndingkan ibu yang sedang tidak hamil, karena ibu yang mengandung sedang terjadi pertumbuhan janin memerlukan asupan gizi yang lebih banyak.
Imunologik, jika daya tahan tubuh seseorang melemah, maka tubuh akan sangat rentan terserang penyakit sehigga seseorang harus mengonsumsi zat gizi yang cukup agar daya tahan tubuh terbentuk.
Kebiasaan juga mempengaruhi kebutuhan gizi, karena kebutuhan gizi setiap orang berbeda, sebagai contoh orang yang mempunyai kebiasaan berolah raga maka kebutuhan gizi nya meningkat dan lebih banyak dibandingkan dengan orang yang jarang dan kurang olahraga.
(Kemenkes, 2017).

Faktor sumber/Agent
Agen merupakan suatu massa yang ada tidaknya mempengaruhi munculnya masalah gizi pada manusia misalnya zat gizi, karena kekurangan zat gizi tertentu dapat menyebabkan masalah gizi, misalnya kekurangan vitamin C yang mengakibatkan peradangan didalam mulut. Massa lain seperti zat kimia dalam tubuh (hormon dan lemak), tubuh membutuhkan hormon untuk proses metabolisme tubuh, juga lemak. Jika tubuh kekurangan hormon maka akan menimbulkan berbagai masalah.Agregat yang karena keberadaannya menimbulkan masalah gizi, di antaranya kimia dari luar tubuh termasuk obat-obatan, zat kimia yang masuk dalam tubuh dapat menimbulkan keracunan, atau dalam jumlah kecil tetapi dikonsumsi dalam kurun waktu yang lama dapat bersifat karsinogenik. Demikian juga penggunaan obat, misal obat jenis antibiotik tertentu dapat mengganggu absorpsi susu. Asupan gizi juga mempengaruhi faktr psikis/kejiwaan. Orang yang menderita penyakit infeksi juga memerlukan asupan gizi yang meningkat untuk menyembuhkan luka yang diakoibatkan infeksi (Kemenkes, 2017).

Faktor lingkungan/environment (ekonomi, biologis, fisik, bencana alam)
Keadaan gizi seseorang juga dapat dpengaruhi oleh lingkungan. Keadaan lingkungan dapat dibedakan dalam tiga keadaan, yaitu:
Lingkungan fisik, meliputi tanah, iklim/cuaca, dan air. Hewan dan tumbuhan tidak dapat hidup di lingkungan yang gersang, sehingga hewan tidak dapat tumbuh dengan baik dan juga sangat mempengaruhi kesuburan tanaman yang merupakan sumber makanan yang kemudian akan mengakibatkan berkurangnya produksi makan.

Lingkungan biologis, Kepadatan penduduk dapat mengakibatkan ketersediaan pangan terbatas, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dengan jumlah penduduk karena lingkungan biologis akan mempengaruhi ketersediaan zat gizi di masyarakat. Hewan dan tumbuhan yang subur juga dapat menjadi bekal pangan bagi kebutuhan gizi masyarakat
Lingkungan sosial ekonomi, suatu daerah jika pembangunan ekonominya baik maka akan mempengaruhi tingkat ketersediaan pangan bangsa, yang akan meningkatkan status gizi. Sedangkan jika terjadi bencana alam akan mengakibatkan kekurangan persediaan pangan sehingga dapat menurunkan status gizi masyarakat. Seseorang yang memiliki pekerjaan akan mendapatkan penghasilan yang dapat digunakan untuk membeli makanan untuk dirinya dan keluarganya (Kemenkes, 2017).
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, cacingan, dan infeksi pencernaan (Supariasa, 2002).

Ketersediaan bahan makanan yang kurang dipasaran
Kemampuan daya beli dapat mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Kemampuan daya beli rumah tangga ditentukan oleh tingkat pendapatan. Seperti terjadi kegagalan produksi pertanian /gagal panen sehingga mengalami krisis ekonomi berkepanjangan dan ketersediaan bahan makanan yang kurang baik ditingkat individu maupun rumah tangga serta keadaan sosial ekonomi yang kurang mendukung lalu terjadilah daya beli masyarakat yang menurun.

Penyakit Infeksi
Selain asupan gizi, keadaan gizi dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi yang saling terikat. Jika seseorang tidak memperoleh asupan gizi yang cukup dapat mengalami sakit dan kekurangan gizi. Jika seseorang sering sakit akan mengakibatkan gangguan nafsu makan yang dapat menyebabkan gizi kurang (Depkes RI, 2007).

Sejalan dengan penelitian di As Sidiq bahwa terdapat hubungan penyakit infeksi dengan kejadian status gizi kurang menurut indeks BB/U pada balita usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Tanah Sepenggal. Infeksi dapat menurunkan bahkan membuat anak tidak mau makan dan tidak merasa lapar. Infeksi menghabiskan sejumlah kalori dan protein yang seharusnya dipakai untuk pertumbuhan, apalagi jika anak terkena diare dan muntah, diare dan muntah dapat menghalangi penyerapan makanan. Sewaktu anak mengalami diare, terjadi gangguan gizi yang mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Anak balita yang terkena penyakit infeksi dan asupan nutrisi yang kurang dalam penelitian ini paling dominan disebabkan karena rendahnya kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan untuk memenuhi standar gizi dan untuk pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan pangan.

Biodata Penulis:
Emy Yuliantini,SKM.MPH. Dosen Poltekes Kemenkes Bengkulu, juga sebagai Kandidat Doktor Ilmu Pertanian di Universitas Bengkulu.

Related posts

Leave a Comment